LINTASPOST.COM SUMENEP – Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang dirancang untuk meningkatkan kualitas rumah bagi masyarakat Sumenep, kini malah menjadi ajang penyalahgunaan dana yang merugikan rakyat. Alih-alih memberikan manfaat maksimal, dana yang dikucurkan melalui program ini terpangkas oleh oknum pendamping yang memanfaatkan posisi mereka untuk meraup keuntungan pribadi, memperburuk kondisi yang seharusnya dibantu.
Para penerima BSPS mengungkapkan bahwa bantuan yang diterima tidaklah dalam bentuk uang tunai, melainkan berupa barang-barang kebutuhan untuk pembangunan rumah. Namun, ketika dihitung secara rinci, nilai barang yang diterima ternyata jauh dari angka yang dijanjikan. Bantuan yang seharusnya mencapai Rp 20 juta per penerima, nyatanya hanya mencakup barang-barang yang tidak lebih dari Rp 10 juta. “Seandainya uang Rp 20 juta itu langsung diberikan, mungkin bisa lebih mencukupi,” ujar salah seorang warga penerima BSPS yang memilih menolak bantuan tersebut, karena merasa dana barang yang diterimanya jauh dari harapan.
“Jangan pernah mau menerima bantuan untuk pembangunan rumah itu, jika tidak memiliki uang pribadi sebagai tambahan atau tidak memiliki sapi untuk dijual untuk tambahan agar terselesaikan rumah itu,” imbuhnya.
Selain itu, banyak warga yang harus menanggung biaya tambahan akibat pemotongan yang dilakukan oleh pendamping program. “Pendamping meminta uang Rp 1.200.000 per penerima, katanya untuk biaya SPJ. Padahal, dana yang seharusnya diberikan langsung untuk pembangunan rumah, malah terpotong untuk kepentingan pribadi,” ungkap salah satu Kepala Desa di Kecamatan Rubaru. Praktik ini semakin memperburuk kondisi ekonomi warga yang seharusnya terbantu oleh program pemerintah.
Fenomena serupa juga ditemukan di Kecamatan Bluto, di mana meski program BSPS dirancang untuk meringankan beban warga yang memiliki rumah tidak layak huni, dana yang diterima tetap tidak cukup untuk menyelesaikan pembangunan rumah. Warga pun terpaksa berutang untuk menutupi kekurangan tersebut. “Masyarakat kami terpaksa mencari pinjaman untuk menyelesaikan rumah yang dibangun dengan dana BSPS,” ungkap Kepala Desa setempat.
Di Kecamatan Pasongsongan, keluhan tentang oknum pendamping yang meminta uang tambahan juga mencuat. “Pendamping memang meminta uang, katanya untuk biaya administrasi SPJ. Tapi, itu jelas merugikan warga karena uang yang seharusnya digunakan untuk pembangunan rumah justru lenyap entah ke mana,” jelas Kepala Desa setempat.
Dengan semua keluhan ini, jelas bahwa pengawasan terhadap implementasi program BSPS sangat lemah. Alih-alih membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin, program ini justru membuka celah bagi oknum untuk memperkaya diri dengan cara yang licik. Akibatnya, meskipun program ini digadang-gadang untuk membantu masyarakat, banyak yang merasa bahwa bantuan yang mereka terima jauh dari harapan.
Jika penyalahgunaan anggaran ini dibiarkan terus berlanjut, program BSPS akan menjadi simbol kegagalan negara dalam memerangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kini, bukan hanya rumah yang tak layak huni yang menjadi beban warga, tetapi juga rumah yang dibangun dari dana yang tidak pernah sampai ke tujuan yang seharusnya.(*)